Sejak kemerdekaan di tahun 45, kita hidup dinegara yang penuh dengan
slogan. Mulai dari Nasakom, Tritura, Gotong-royong sampai yang
terakhir ini adalah GETAR.
Semua slogan-slogan tersebut dipergunakan untuk "membangkitkan"
semangat dan minat rakyat pada suatu hal yang menjadi keinginan
pemerintah yang pada umumnya bukan untuk kepentingan rakyat sendiri.
Hal ini dapat kita lihat dari sejarah yang menunjukkan pada akhirnya
rakyat yang sudah termakan oleh slogan-slogan tertentu tersebut tidak
mendapatkan apa-apa.
Salah satu yang sejak kemerdekaan kita selalu ada ialah KOPERASI.
Kata ini berasal dari entah bahasa Ingris "cooperation" yang artinya
bekerja sama atau mungkin dari bahasa lainnya. Dalam pembahasan ini,
KOPERASI kita anggap berasal dari bahasa Ingris, karena dalam bahasa
Indonesia tidak terdapat kata tersebut.
Arti sebenarnya dari cooperation adalah suatu kerja-sama yang saling
menguntungkan kedua belah pihak. Jadi dalam hal ini rakyat ataupun
pihak pengelola koperasi sama-sama mendapatkan keuntungan. Diharapkan
dengan koperasi pihak penghasil dapat mempunyai kekuatan yang lebih
besar untuk mengadakan pembicaraan dagang (stronger bargaining power).
Hasil keuntungan dari koperasi seyogyanya dinikmati bersama antara
pihak pengikut dan pengelola.
Kita lihat yang terjadi di Indonesia. Yang paling umum kita lihat
adalah KUD (Koperasi Unit Desa) yang dalam fungsi sebenarnya haruslah
membantu petani. Selain itu KUD juga berfungsi untuk melawan tengkulak
dan tukang ijon yang dinilai merugikan petani. Dalam kenyataannya,
fungsi KUD sudah berubah. Kebanyakan petani justru dirugikan oleh KUD
karena adanya kepentingan lain yang ikut masuk dalam KUD. Contoh yang
paling gamblang adalah cengkeh yang tadinya diperdagangkan secara
bebas. Karena seorang Cina di Ujung Pandang melihat potensial
perdagangan cengkeh yang luar biasa, maka dibuat suatu skenario agar
perdagangan cengkeh ini dapat dikendalikan. Tentu saja untuk
mengumpulkan cengkeh dari desa-desa terpencil tidaklah mudah.
Disinilah fungsi KUD sudah disalah-gunakan oleh pejabat, anak presiden
yang berkolusi dengan pedagang dan mendirikan BPPC. Tujuan BPPC secara
tertulis adalah baik, yaitu membantu petani agar dapat mendapatkan
harga yang paling baik bagi mereka. Kenyataannya, harga terbaik itu
tidak dinikmati oleh petani. BPPC yang seharusnya bekerja sama dengan
petani malahan berubah fungsi menjadi pemeras petani. Fungsi ini sama
dengan VOC pada jaman penjajahan Belanda dulu, dimana rakyat
diwajibkan untuk menanam tanaman tertentu dan hasilnya harus
diserahkan/dibeli oleh VOC pada harga tertentu.
> Supaya BPPC tidak mengalami kerugian, maka harga pada tingkat petani
ditetapkan pada tingkat yang sangat rendah dan petani dibebani segala
macam biaya untuk menjual cengkeh mereka. Selain itu pembayaran pada
petani juga ditunda dengan segala macam alasan. Petani dalam hal ini
tidak dapat berbuat apa-apa kecuali terima nasib. Bahkan pada saat
cengkeh panen raya, BPPC menyuruh petani untuk menebang tanaman
cengkeh agar harga cengkeh dapat tetap tinggi dan juga agar BPPC tidak
harus membeli semua hasil cengkeh tersebut.
Bahkan sampai sekarang masih ada dana petani yang belum dibayar sampai
saat ini. Beberapa bulan yang lalu diberitakan bahwa dana ini akan
dibayarkan pada petani melalui KUD. Hal ini berarti pasti ada biaya
administrasi lagi yang harus dibayar oleh petani. Padahal sebelum ada
BPPC, tidak pernah ada keluhan dari pihak petani dalam hal pemasaran.
Pabrik rokok sebagai pemakai cengkeh terbesar selalu membeli langsung
dari petani dan membayar dengan tunai. Hal ini seperti diatas
berlangsung terus tanpa ada yang berani menentang karena pemilik BPPC
adalah keluarga Cendana dan baru "berhenti" setelah adanya krisi
moneter dan IMF mulai ikut campur tangan.
Hal yang hampir sama juga terjadi pada industri kayu lapis.
Perbedaannya adalah bentuknya. Kalau dalam cengkeh pihak keluarga
Cendana memanfaatkan KUD, maka pada industri kayu lapis dipergunakan
suatu badan hukum lain yaitu Apkindo. Fungsi dan cara kerjanya sama
saja yaitu dengan menciptakan "toll gate". Setiap produsen tidak
diijinkan untuk menjual hasilnya secara langsung dan harus melalui
Apkindo. Tujuan yang tertulis dalam anggaran dasar Apkindo adalah
suatu yang mulia. Dengan adanya asosiasi, maka semua produsen dapat
bersatu untuk menghadapi tekanan dari pembeli dan mencegah produsen
diadu domba oleh pembeli. Prakteknya; Apkindo tidak pernah bisa
menentukan harga dipasar. Harga dipasar ditentu oleh pembeli dan
saingan kita. Kalau Malaysia menjual dengan harga U$ 300, maka Apkindo
akan menjual dengan harga yang sama. Jadi fungsi untuk memperjuangkan
kepentingan anggota tidak ada. Yang jelas ada tidak lain dari pungutan
yang berupa dana reboisasi, dana pemasaran dan entah dana apa lagi
yang dipungut Apkindo untuk kepentingan pribadi Bob Hasan dan keluarga
Cendana. Bila dinamakan dana reboisasi, harusnya dipergunakan untuk
melakukan penghijauan hutan, dan bukannya dipakai oleh Habibie untuk
membuat pesawat yang tidak pernah bisa terbang. Seperti juga dengan
BPPC, fungsi "toll gate" ini juga dihapus oleh IMF dalam memorandum
yang ditanda-tangani oleh Kepala Keluarga Cendana.
Mungkin kita dapat berpikir sekarang bahwa akhirnya praktek-praktek
pemerasan dengan menggunakan nama Koperasi atau Asosiasi telah
dihapuskan. Bila anda berpikir begitu, maka anda salah besar.
Bule-bule dari IMF dan World Bank itu tidak lebih daripada orang-orang
yang bodoh. Dengan mudah saja mereka percaya bahwa apa yang sudah
ditanda-tangani oleh Suharto pasti akan dijalankan oleh Suharto. Belum
tentu. Kenyataannya, pungutan dari Apkindo dirubah namanya dan
sekarang muncul dengan biaya untuk data statistik sebesar U$ 50, bukan
dalam rupiah lagi. Entah orang-orang IMF tahu akan hal ini atau tidak
? Namanya memang lain, tapi tetap saja pabrik plywood dijadikan sapi
perahan oleh Cendana lewat Apkindo.
Sedangkan untuk cengkeh, BPPC ternyata tetap ada dan fungsinya diubah
namanya menjadi "kemitraan" seperti dikata oleh Menkop Cakrawardaya di
televisi. BPPC membentuk kemitraan dengan petani dan juga dengan
pemakai cengkeh yaitu pabrik rokok. Tentu saja kalau namanya
"kemitraan", bila petani beruntung, maka pasti mitranya akan dapat
bagian dan bila pabrik rokok beruntung BPPC juga akan mendapat bagian
keuntungan. Entah apa sebenarnya kegunaan dari kemitraan ini ? Apakah
petani kita sudah begitu bodoh sehingga mereka tidak bisa membedakan
bahwa bila mereka bisa menjual seharga Rp. 5.000 akan lebih untuk
daripada kalau hanya dijual seharga Rp. 3.000; sehingga hal ini harus
dan perlu diberitahu oleh BPPC ? Kalaupun memang benar petani itu
begitu bodoh, tentunya mereka sudah bangkrut dari dulu dan
kenyataannya adalah mereka justru bangkrut setelah adanya BPPC.
source : http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1998/02/23/0148.html